Oleh: Mochammad Hisan
Selama ini, kebanyakan masyarakat beranggapan belajar di Pondok Pesantren tidak bisa mendapatkan gelar kesarjanaan. Anggapan demikian tidak sepenuhnya salah, juga tidak sepenuhnya benar. Beberapa pondok pesantren, hari ini sudah banyak yang memiliki Perguruan Tinggi baik berbentuk Sekolah Tinggi, Institut maupun Universitas. Biasanya dikenalkan dan dibranding dengan nama Perguruan Tinggi Berbasis Pondok Pesantren.
Sebagai perguruan tinggi yang semua aktivitasnya berada didalam basis (dasar) pondok pesantren, tentu memiliki kelebihan yang tidak dimiliki perguruan tinggi non basis pesantren. Salah satunya terlihat dari penyiapan lulusan (output) yang memiliki karakter, kepribadian dan akhlak plus memiliki kecerdasan intelektual. Bisa saja perguruan tinggi non basis pesantren mampu memprotek sarjana dengan kecerdasan intelektual (intelektual question) yang dibutuhkan masyarakat, namun belum tentu bisa memberikan penekanan pada pembentukan karakter, kepribadian dan akhlak yang pada sisi lain juga perlu dimiliki. Berbeda dengan perguruan tinggi berbasis pondok pesantren, penanaman nilai-nilai akhlak dan pembentukan kepribadian dilakukan secara terus menerus setiap hari, dalam semua situasi dan kondisi, sejak bangun tidur hingga mau tidur lagi. Kalau diperguruan tinggi non basis pondok pesantren, selepas mengikuti perkuliahan pulang kerumah atau ketempat kos masing-masing, sedangkan di perguruan tinggi berbasis pondok pesantren mahasiswa masih terikat dengan nilai-nilai dan rutinitas kegiatan Pondok Pesantren.
Perguruan tinggi berbasis pondok pesantren memberikan atensi khusus pada terbentuknya sarjana yang memiliki karakter, Kepribadian dan akhlakul karimah. Karena orang berilmu, namun miskin akhlak akan sangat membahayakan keberlangsungan kehidupan umat manusia. Kita bisa menyaksikan dengan telanjang mata, dampak dan bahaya orang berilmu, namun miskin akhlak seperti kerusakan lingkungan, ilegaloging yang menyebabkan longsor dan banjir dimana-mana, para perampok berkerah (koruptor) uang rakyat yang menjadi penyebab kemiskinan, kebodohan, kelaparan dimana-mana dan sejumlah fakta-fakta kerusakan lainnya yang dilakukan oleh orang berilmu, namun miskin akhlak. Oleh karenanya, diutusnya Nabi Muhammad SAW ke muka bumi semata-mata untuk memperbaiki akhlak umat manusia (innama bu’istu li utammima makarimal akhlaq).
Prof. Akhmad Muzaki, M.Ag., Grand.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D, Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya saat memberikan orasi ilmiah acara Wisuda Ke-V Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul Ulum Lumajang menyampaikan kelebihan lulusan (sarjana) Perguruan Tinggi pondok pesantren terletak pada karakter, kepribadian dan akhlaknya. Menurut Prof. Muzakki, dunia hari ini dan akan datang tidak hanya membutuhkan sarjana yang pintar dan cerdas. Karena kalau hanya pintar dan cerdas hari ini sudah diwakili oleh mesin kecerdasan buatan (artificial intelegensi). “Hari ini dan masa akan datang membutuhkan sarjana yang memiliki karakter, kepribadian atau dalam bahasa agama disebut akhlak”.
Kemudian, bagaimana dengan keilmuan mahasiswa perguruan tinggi berbasis pondok pesantren, apa tidak menjadi perhatian juga? Untuk menjawab hal ini, kita bisa mengembalikan tugas dasar Tridharma perguruan tinggi, yaitu pengajaran (pendidikan), penelitian dan pengabdian. Sudah melekat sebagai kewajiban, semua perguruan tinggi baik yang berbasis pondok pesantren maupun non basis pondok pesantren untuk menyiapkan lulusan (sarjana) yang cakap secara intelektual, memiliki keterampilan (hard skill/soft skill) sesuai dengan kebutuhan dunia kerja dan sesuai disiplin keilmuan masing-masing.
Bila kita mencoba menarik kebelakang saat pertama kali Soehato dengan rezim Orde Barunya naik tahta kekuasaan tahun 1966, upaya-upaya intervensi sekolah-sekolah Islam tidak terkecuali Pondok Pesantren mulai dilakukan. Orde baru melalui Keputusan Presiden No.34 Tahun 1972 tentang Tanggung Jawab Fungsional Pendidikan dan Pelatihan, berkeinginan menjadikan pendidikan dalam satu atap dengan desain yang ditetapkan dan dikontrol oleh Pemerintah. Melihat gelagat demikian, para kelompok pendidikan Islam terutama kalangan pesantren bereaksi keras sehingga berujung pada adanya diaolog dan negosiasi yang berbuah kesepakatan yang dituangkan dalam SKB 3 Menteri pada tahun 1975. Salah satu poin pentingnya adalah pengakuan pemerintah terhadap eksistensi madrasah yang dikelola pondok pesantren dan mengakui lulusannya setara dengan lembaga pendidikan umum yang berada dibawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pasca reformasi 98, dengan banyaknya kader-kader pesantren masuk diruang kebijakan pemerintah, banyak kebijakan-kebijakan yang disempurnakan dan disesuaikan terlebih saat KH. Abdurrahman Wahid, Gus Dur, figur pemimpin representasi pesantren, masuk kepucuk pimpinan di Indonesia. Pendidikan pesantren kembali menemukan jatidiri dan orientasi. Pendidikan berbasis pondok pesantren memiliki posisi daya tawar ditengah-tengah masyarakat dan didunia pasar kerja.
So, apalagi yang ditunggu, untuk orang tua lulusan SLTA dan atau lulusan SLTA segera pilih Perguruan Tinggi berbasis Pondok Pesantren didaerah anda masing-masing.