Apa yang kalian pikirkan Jika kita membicarakan tentang pondok pesantren?
Pasti kalian berpikir, bahwa pondok pesantren adalah tempat yang tidak nyaman, tidak mengasyikkan, penuh dengan peraturan dan hafalan, bahkan tempat yang sangat menyeramkan.
Sebenarnya pondok pesantren tidak seperti rumor seram yang beredar, pondok pesantren memiliki beragam makna berkesan yang mampu mendorong kita berbenah menjadi hamba dengan pondasi syari’at Islam yang kokoh. Pondok pesantren hakikatnya menjadi salah satu contoh lembaga pendidikan tradisional yang para santrinya tinggal bersama dalam satu tempat dan belajar dibawah naungan kyai maupun ibu nyai.
Jika kita paham akan makna santri maka rasa bersyukur selalu kita panjatkan. Menyandang gelar sebagai seorang santri termasuk hal yang perlu dibanggakan, karena kita termasuk manusia pilihan Allah SWT yang memiliki kesempatan untuk lebih mengenal sang pencipta dan agama, bahkan tidak semua orang bisa menjadi seorang santri. Jika masih ada yang merasa minder statusnya sebagai santri maka pemikiran yang demikian perlu dibenahi kembali.
Tercatat dalam sejarah, bahwa Peran santri terbukti semenjak dari periode prakolonial, zaman kolonial, era kemerdekaan, orde baru, bakan reformasi. Hadratussyekh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari merupakan salah satu ulama pejuang sekaligus pendiri ormas Nahdhatul Ulama’ yang mendakwahkan dan menggerakkan banyak santri untuk memperjuangkan kemerdekaan. Bahkan ia kerap mengeluarkan fatwa-fatwa perlawanan terhadap Kolonial Belanda. Antara lain wajibnya melawan Belanda dan merebut kemerdekaan dari kaum penjajah.
Dengan berjalannya waktu, perjuangan berubah dari perlawanan kultural ke perlawanan bersenjata. Akan tetapi hal ini tidak membuat kalangan santri dan warga pesantren patah semangat untuk melawan penjajah. Sejarah mencatat, mengangkat senjata tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki, tetapi juga dilakukan oleh kaum perempuan di dalam organisasi Muslimat NU.
Tidak heran jika tanggal 28 Oktober diperingati sebagai hari santri. Hal ini berawal dari usulan masyarakat pesantren sebagai momentum untuk mengingat, mengenang, dan meneladani kaum santri telah berjuang menegakkan kemerdekaan Indonesia. Usulan ini banyak yang setuju ada pula yang menolaknya. Beragam alasan penolakan yang muncul diantaranya ketakutan akan adanya perpecahan karena ketiadaan pengakuan bagi selain santri. Nyatanya, KH. Mustofa Bisri yang akrab dipanggil Gus Mus memberikan inspirasi dan apresiasi bahwa Santri bukan yang mondok saja, tapi siapapun yang berakhlak seperti santri dialah santri.
Namun pada 15 Oktober 2015 silam, Presiden Joko Widodo pada akhirnya memutuskan untuk menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai hari santri dengan didasari tiga pertimbangan. Pertama, ulama dan santri pondok pesantren memiliki peran besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta mengisi kemerdekaan.
Kedua, keputusan tersebut diambil untuk mengenang, meneladani, dan melanjutkan peran ulama dan santri dalam membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta berkontribusi dalam pembangunan bangsa, perlu ditetapkan Hari Santri pada tanggal 22 Oktober.
Ketiga, tanggal 22 Oktober tersebut diperingati merujuk pada ditetapkannya seruan resolusi jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 oleh para santri dan ulama pondok pesantren dari berbagai penjuru Indonesia yang mewajibkan setiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah.
Bahkan sampai detik ini santri terbukti tidak hanya mempunyai intelektualitas yang tinggi, tapi juga termasuk memiliki kecerdasan spiritual di atas rata-rata. Santri hidup diajarkan akan arti solidaritas, tenggang rasa, kebersamaan, kejujuran yang harus didahulukan, mengayomi orang lain tanpa memandang latar belakang bahkan belajar urusan duniawi juga akhirat. Begitulah karakter pendidikan pesantren yang komunal, integral dan futuristik.
Pada zaman modern ini, segala fasilitas seperti internet, media, dan pendukung lainnya bisa menjadi bekal bagi seorang santri agar tidak hanya fokus pada dunia salaf saja, tetapi bisa mengimbangi dengan dunia teknologi, sehingga tercipta santri yang dapat membanggakan negeri ini. Layaknya di pesantren kita, Pondok Pesantren Miftahul Ulum yang berintegrasi dengan pendidikan formal dan non formal, menciptakan unit kewirausahaan dan lain sebagainya, subyek dan objek yang berkaitan diakomodir oleh santri.
Menjadi santri di era modern, maka fardhu ‘ain melakukan jihad-jihad kekinian di zaman kacau (mess age) ini. Santri harus menjadi generasi langgas yang moderat dan toleran di dunia maya. Santri harus aktif dan berani mentransfer, mengampanyekan sekaligus mensosialisasikan doktrin Islam yang toleran dan anti kekerasan di dunia maya. Santri adalah garda terdepan yang mendakwahkan Islam yang teduh, bukan rusuh. Santri harus menjadi ‘promotor’ persatuan, perdamaian, dan ketertiban. Bukan malah menjadi ‘buzzer’ kemunkaran, permusuhan, fitnah dan ujaran kebencian.
Santri harus paham akan dunia digital akan tetapi tidak meninggalkan dunia salaf. Jika hal ini seimbang maka santri semakin produktif untuk mengisi konten seperti tulisan keaswajaan, teknologi, opini yang mampu membangkitkan semangat dan berproses dalam keilmuan. Sehingga santri bisa terus mengembangkan diri supaya dapat meneruskan perjuangan para pendahulunya dan berani mentransfer sekaligus mensosialisasikan tentang islam yang toleran dan anti kekerasan melalui dunia maya.
Author: Siska Sutriani_Mahasiswi MPI smt 4
Editor: Nabila N.A