Siapa yang tidak mengenal pesantren atau yang sering kali disebut-sebut sebagai penjara suci? Namun, sebenarnya pesantren adalah pesantren tempat santri menimba ilmu, bukan lah penjara. Salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia ini tidak dapat dipungkiri menawarkan jalan kehidupan yang bernilai dan dibumbui episode kehidupan yang memerlukan perjuangan di dalamnya.
Pesantren merupakan suatu lembaga pendididkan islam tradisisonal yang para siswanya (santri) tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiyai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Pondok pesantren juga menjadi lembaga pendidikan alternatif yang mengutamakan ikhtiar pencerdasan spiritual.
Santri adalah orang yang belajar ilmu agama di pondok pesantren. Kehidupan seorang santri di pondok pesantren menarik untuk dibahas. Tak hanya menuntut ilmu, sebagian besar santri juga diajari bagaimana cara menjalani hidup. Mungkin sebagian orang menganggap anak santri hanya tinggal di pondok, kelihatan tidak terurus. Namun jangan salah, anak-anak santri tidak kalah keren dibanding dengan anak-anak yang lainnya.
Tidak hanya hal-hal menarik saja, namanya juga kehidupan pasti ada fenomena-fenomena kurang menyenangkan bagi santri yang kerap dialami seorang santri, seperti filosofi santri yang berbunyi “satu untuk semua”, terkadang pula merasakan kelaparan diluar waktu makan, dan ciri khas santri juga mengalami gudiken. Gudiken (red: cacar air) ini kerap kali dialami oleh santri di berbagai pesantren. Istilah gudiken mungkin menjadi salah satu identitas penyakit santri. Namun, hal terpenting yang harus diperhatikan selain itu adalah rasa gatal yang tidak selalu terjadi di badan. Penyakit gudiken tergantung dengan kepribadian santri sendiri, jika termasuk santri yang mandiri dalam menjaga kebersihan, penyakit tersebut hanya singgah sebentar saja. Hal-hal tersebut lah yang kerap menjadi ketidaknyamanan (membuat santri tidak betah) dipesantren. Namun, para santri yang bersungguh-sungguh ingin menimba ilmu maka mereka akan memikirkan solusi atas ketidaknyamanan yang dirasakan dan terus berjuang fii sabilillah meski keadaan membuat para santri tersebut tidak nyaman dan merasa terganggu dalam mengemban atau menimba ilmu.
Selain itu, santri juga merasakan pembelajaran kehidupan yang sangat berkesan. Hiruk pikuk perjalanan mengarungi bahtera keilmuan tentu memberikan kesan yang berbeda. Istilah penjara suci merujuk pada banyaknya keterbatasan runag gerak, terkurung, terhukum namun dalam konteks menimba ilmu pengetahuan. Paradigma yang sempat beredar bahwa pondok pesantren bukan tempat yang aman, memerlukan kajian yang mendalam, salah satunya ialah memilih pondok pesantren yang jelas ranahnya, jelas siapa kiainya dan jelas sanad keilmuwannya.
Imam Ghazali sang Hujjatul Islam juga menegaskan bahwasanya setiap anak adalah Amanah bagi orangtuanya. Setiap anak memiliki qalbu (hati) yang suci sebagai mutiara atau perhiasan yang berharga. Jika anak dibiasakan dengan hal-hal baik, ia akan tumbuh dengan kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Maka setiap anak harus dilindungi dengan cara mendidik, meluruskan, dan mengajarkan akhlak yang baik.
Di tengah tantangan global dewasa ini, santri hadir sebagai implementasi terhadap umat dan bangsa sebagaimana ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, yaitu Islam yang wasathiyah dan Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah. Indahnya menjadi santri atau orang yang menuntut ilmu bisa juga kita cermati dari hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari yang berbunyi “Barang siapa pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah termasuk golongan sabilillah (orang yang menegakkan agama Allah) hingga ia pulang kembali. Dan Rasulullah pun bersabda :
“وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ”
Yang berarti: Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)
Author: Siti Kholifah _Mahasiswi MPI smt 4
Editor: Nabila N.A