Selama ini, di mana ada tambang, pasti masyarakat di sekitarnya menjadi korbannya, entah itu digusur atau menyebabkan kerusakan alam. Tambang semen di Gunung Kendeng Jawa Tengah, menyebabkan debit air surut, Bukit gundul dan sebabkan banjir dikala hujan lebat. Demikian pula tambang di Tumpang Pitu, Bukit yang ditambang merupakan penghalang angin laut agar tidak langsung ke pemukiman warga, juga sebagai ‘Tetenger’ bagi nelayan. Setelah ditambang, rusak semuanya.
Tambang terbesar di Indonesia, Freeport yang semula berbentuk Gunung, kini lebih menyerupai kawah sebab Gunungnya telah dikeruk bertahun-tahun. Namun, rakyat Papua justru hidup digaris kemiskinan, Freeport hanya memperkaya oligark dan mengalir ke para elit politisi, sebagaimana kasus ‘Papa minta Saham’ Setya Novanto yang terkuak ke publik dan kini Ia mendekam dibalik jeruji besi.
Pemberian konsesi tambang oleh Jokowi kepada Ormas Keagamaan, menimbulkan pro dan kontra. Banyak yang menentang namun ada pula yang menerimanya yaitu pengurus elit PBNU sendiri, pemberian konsesi tambang resmi per 30 Mei 2024 lalu, setelah pemerintah resmi memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) No 25/2024 tentang Perubahan atas PP No 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Mereka yang menolak PP No 25/2024 beralasan karena menurut mereka, aturan tersebut muncul secepat kilat pasca kemunculan wacana revisi PP No 96/2021. Hal itu mengakibatkan ruang partisipasi masyarakat untuk mencermati dan mengkritisi pasal ”Jantung” di sektor pertambangan minerba nyaris tidak efektif. Padahal, wacana revisi PP No 96/2021 yang menyeruak di masyarakat bersinggungan dengan substansi serius karena adanya entitas baru yang diberi hak untuk mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Ketua Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), Roy Murtadho juga mengkritik sikap PBNU yang menerima konsesi tambang, menurutnya sikap PBNU ahistoris dan patut dicurigasi sebab pada Muktamar tahun 2015, PBNU mengharamkan bisnis tambang. Menurut Gus Roy, selama ini yang berperan secara dominan dalam membesarkan NU sebagai sebuah jam’iyah adalah para Kiai dan Ustadz kampung, ibu Nyai pengurus majelis takl’lim, Guru Madrasah, Imam Musala dan segenap warga Nahdliyin akar rumput yang bahkan jadi korban tambang. Sebagian besar dari mereka adalah Petani dan kelas pekerja.
Selain FNKSDA, sebanyak 62 alumni UGM yang menyebut dirinya sebagai warga Nahdliyin turut mengkritik sikap PBNU yang menerima konsesi tambang. Menurut mereka, konsesi tambang ini akan menjerumuskan NU pada kubangan dosa sosial dan ekologis. Mereka mendesak, sebaiknya PBNU mandayagunakan potensi yang ada demi kemandirian ekonomi tanpa harus masuk dalam bisnis kotor tambang, dan adanya IUP Tambang ini hanya akan menguntungkan segelintir elit ormas.
Ketua PBNU Gus Yahya sendiri mengatakan bahwa NU butuh tambang. Alasannya, banyak lembaga dibawah naungan NU. Nantinya, juga akan mempertimbangkan lokasi yang akan yang diberikan, bila di tengah pemukiman atau ada hak ulayat, maka PBNU akan menolaknya. PBNU juga akan memperhatikan soal lingkungan sebab kata Gus Yahya hal tersebut merupakan tanggung jawab moral untuk memperhatikan aspek-aspek terkait lingkungan hidup.
Alasan Gus Yahya sebenarnya kurang masuk di akal sebab bila lembaga di bawah naungan NU yang dijadikan alasan. Toh, selama ini lembaga di bawah naungan NU berdiri kokoh dan terus berkembang, walau bagaimanapun lembaga pendidikan sudah dijamin oleh negara. Tanpa tambang, sebenarnya NU bisa berkembang dengan kekuataan jami’iyah yang jumlahnya jutaan, di Jember sudah ada Badan Usaha Milik NU (BUMNU) dan bisa terus dikembangkan berjaringan di setiap kabupaten, kenapa harus tambang ?
Selama ini belum ada tambang yang ramah lingkungan, pasti akan merusak alam dan berpotensi menimbulkan kejahatan ekologis. Jangankan tambang batu bara atau sejenisnya, tambang pasir yang notabene skala kecil, telah menghabisi Gumuk atau bukit-bukit kecil di Jember. Apalagi, tambang batu bara, bukan tidak mungkin Gunung pun akan dikeruk habis sebagaimana Freport.
Sejauh ini, hanya PBNU yang mengajukan ijin pertambangan setelah pemerintah memberlakukan (PP) No 25/2024. Ormas keagamaan lainnya, Muhammadiyah dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) masih akan mempertimbangkannya meski sebagian elite Muhammadiyah menolak, Konfrensi Waligereja Indonesia (KWI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) serta Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) tegas menolak konsesi tambang.
Lantas, ada apa dengan PBNU ? kenapa harus menerima konsesi tembang meski menuai banyak sorotan dan kritik ?
Robith Fahmi