Idealnya, menabung untuk membeli rumah atas kehendak pribadi masing-masing orang, tidak lantas kemudian dipaksa untuk menabung dan peruntukannya untuk membeli rumah, bagaimana kalau sudah punya rumah? Ya, harus tetap nabung untuk beli rumah, bagaimana kalau tabungannya dibuat untuk usaha? Tidak boleh, harus untuk beli rumah. Konyol bukan? Menjengkelkan bukan ?
Ya, itulah Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Baru-baru ini, Jokowi merevisi PP Nomer 25 Tahun 2020 menjadi PP No 21 Tahun 2024. Intinya, dalam Peraturan Pemerintah tersebut pekerja gajinya dipotong sebesar 3%, apabila bekerja di perusahaan maka 0,5% dibayarkan oleh penyedia kerja dan 2,5% dibebankan kepada pekerjanya. Sungguh, betapa cerdiknya negara mempermainkan rakyatnya dengan peraturan memaksa yang sejak diterbitkan peraturan tersebut, gelombang penolakan datang dari mana-mana.
Sayangnya, sampai detik ini, pemerintah belum ada gelagat akan membatalkan aturan tersebut, Menko Perekonomian Airlangga Hartanto justru meminta rakyat untuk memahami, apanya yang harus dipahami? Selama ini rakyat dipaksa untuk memahami yang tidak seharusnya mereka pahami, lantas kapan negara bisa memahami rakyatnya?, jangan hanya minta dipahami tapi juga harus bisa memahami, lama kelamaan, negara ini mirip perempuan-perempuan yang ngeyelan, bebal dan KARDIMAN.
Informasinya, dari tabungan 3% itu, tiap tahunnya akan dapat bunga 20%. Seandainya gajinya 5 juta perbulan, maka wajib nabung 150.000 ribu, dalam setahun 1.800.000 plus bunga 20%. Demikian seterusnya tiap tahun, enak bukan ? Kelihatannya sederhana dan bikin cepet kaya. Tapi, tahukah kalian para baheloya pemangku kebijakan, mereka yang gajinya 5 juta, belum tentu jomblo semua. Seandainya mereka memiliki anak 3, maka gaji 5 juta itu kurang untuk biaya mereka. Terkecuali, harga beras 100 perak, gas, listrik gratis, bensin pertalite 1000 rupiah, baru tidak jadi soal.
Masalahnya, semua kebutuhan pokok naik, uang jajan anak sehari kalau sudah SMA minimal 30 ribu, tiga anak 90 ribu. Sebulan 2.700.000, belum biaya ini dan itu, apa tidak tambah pusing para bapak-bapak pejuang rupiah. Tolong mengertilah, jangan kemudian 150.000 itu dianggap kecil Ferguso, bagi Harvey Moes mungkin iya sebab dia bisa korupsi 271 triliun, uang 150.000 itu tidak ada artinya atau orang macam Nia Ramadhani yang tidak bisa ngelupas Salak, di sakunya hanya ada kartu yang dibuat gesek untuk beli cemilan seharga ratusan juta itu hal biasa. Bagaimana dengan kaum pekerja ? Pikirkan tuan!
Jika pengusaha kompak dengan kelas pekerja menolak. Maka, saatnya akademi bersuara, saatnya mahasiswa kuliah di jalanan menyuarakan yang sudah menjadi kewajibannya sebagai penyambung lidah rakyat.
Robith Fahmi