Oleh: Mochammad Hisan
“Kalau Ma’had Aly indikator keberhasilannya bagaimana”, tanya Cak Thoriq mengawali obrolan saat saya dan beberapa sahabat yang berkhidmat di STAI Miftahul Ulum Lumajang, Farhan, Ahamdi, Zainal dan Fatahillah silaturrahim ke rumahnya, di Kelurahan Rogoturunan Lumajang pada hari kamis, 16 Mei 2024 sore hari.
“Ma’had Aly setara dengan jenjang S-1 cak, namun fokus pada pembidangan kajian kitab klasik (turast) dan untuk di Lumajang masih belum ada yang mendirikan”, jawabku menimpali pertanyaan Cak Thoriq.
Di Pondok-pondok Kabupaten Lumajang, Ma’had Aly memang masih belum trand dan belum ada yang berminat mendirikan, padahal tujuan Ma’had Aly mengisi ruang kaderisasi yang ahli dalam bidang ilmu agama (tafaqquh fiddin) dengan menitik beratkan pada kajian kitab-kitab klasik (turast).
Sebenarnya Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo menjadi prakarsa berdirinya Ma’had Aly di Indonesia pada tahun 1990 dengan spesialisasi (takhassus) keilmuan pada bidang Fiqh dan Ushul Fiqh. Baru pada tahun 2015, negara mengakui eksistensi Ma’had Aly berdasarkan amanat PP nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, UU nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, PMA nomor 13 tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, dan PMA nomor 71 tahun 2015 tentang Ma’had Aly, terdapat 13 Ma’had Aly se-Indonesia yang diberi SK Izin Operasional.
Ma’had Aly pada dasarnya merupakan inisiasi dari maksimalisasi visi besar pondok pesantren dalam menciptakan kader ahli ilmu agama (mutafaqqih fiddin) yang eksistensi keilmuannya diakui serta mendapatkan perlakuan dan hak yang sama dengan para ilmuan dalam bidang keilmuan lainnya, eksak, humaniora maupun keilmuan profesi.
Dalam sejarah, pondok pesantren di Indonesia banyak melahirkan kader-kader ulama sekaligus ilmuan yang karya kitabnya menjadi referensi sebagian besar umat Islam dan diajarkan diberbagai pondok pesantren hingga hari ini. Semisal KH. Kholil Bangkalan yang memiliki karya kitab Matan Syarif al Mulaqqob bi Fathil Latif, KH. Sholeh Darat Semarang dengan banyak karya kitab yang dilahirkan dalam berbagai bidang ilmu keislaman. KH. Ihsan Jampes, yang menulis kitab Siraj At-Tholibini, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah, KH. M Maksum Ali, Pesantren Seblak Diwek Jombang dengan karya kitab Amsilatut Tasrifiyah-nya. Selain kitab tersebut, KH. Ma’sum juga menulis kitab Fathul Qodir, Ad-Durusul Falakiyah dan Badi’ul Mistal dalam bidang ilmu hisab (falak). Dan yang akhir-akhir ini diakui ke-ilmuannya tidak hanya oleh kalangan pondok pesantren, namun dunia perguruan tinggi juga mengiyakan adalah KH. Bahauddin Nur Salim atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Baha. “Ada saja argumentasi logis ketika Gus Baha menjawab problem yang terjadi dimasyarakat”, ungkapan kagum Cak Thoriq pada sosok Gus Baha.
Potret kejayaan diskursus islamic studies berbasis pondok pesantren ini pada satu sisi dan pada sisi yang lain keberadaan aturan Ma’had Aly di peraturan perundang-undangan menjadi salah satu visi besar Cak Thoriq untuk dunia Pondok Pesantren di Kabupaten Lumajang. “Keilmuan pondok pesantren harus menjadi pondasi dalam memajukan Kabupaten Lumajang”, penegasan Cak Thoriq dalam obrolan santai sore itu.
Tentunya, kejayaan diskursus islamic studies perlu ditopang oleh kekuatan lembaga, kondusifitas lingkungan dan berbagai varian lain yang terkait dengan keberadaan lembaga pendidikan. Karenanya, silaturrahim saya dan beberapa sahabat STAIM Lumajang sore ini tidak terlepas dari fokus kerja penguatan institusi (institutional building) STAIM satu tahun kedepan. Kita berkeyakinan, hari ini lembaga pendidikan tidak terkecuali pendidikan tinggi berbasis pondok pesantren untuk bisa kuat, berkembang perlu berkolaborasi dengan semua stakeholder baik internal maupun eksternal. Wallahu A’lam