Berbicara tentang ikhlas sangat mudah tapi sulit dilakukan, yang namanya ikhlas agak jarang hadir di tengah kehidupan ini, entah tidak tahu kemana dia pergi. Apa harus menggunakan uang. Seolah-olah tanpa uang semua jenis kegiatan tidak akan berjalan. Kerja yang bersifat pengabdian atau suka rela, hampir tidak ada. Bahkan, hingga membaca khutbah, memberi sambutan dalam sebuah acara, dan bahkan memimpin doa saja, yang bersangkutan harus diberi imbalan berupa uang.
Semua jenis jasa tidak saja harus dibayar, tetapi jumlahnya juga ditentukan. Biasanya, posisi seseorang juga menentukan jumlah yang harus dibayarkan. Orang yang dianggap penting, berpendidikan, dan memiliki jabatan tinggi, maka tarifnya akan berbeda dibanding dengan orang yang tidak menyandang identitas apa-apa. Selain itu, besarnya tarif juga dirasakan berkorelasi dengan harga diri atau gengsi yang diperoleh
Oleh karena jabatan, kemuliaan, pangkat dan posisi di tengah masyarakat selalu berkorelasi dengan uang yang diterima, maka posisi-posisi penting di masyarakat juga selalu diperebutkan. Perebutan posisi penting dianggap lazim. Memang, sementara orang masih menyebutkan bahwa posisi atau jabatan itu amanah, tetapi anehnya amanah itu dibeli dan diperebutkan.
Di tengah-tengah kehidupan yang diliputi oleh suasana transaksional dan perebutan seperti digambarkan tersebut, mari sebagai pengabdi di dunia pendidikan, pendidik yang berhasil membangun kultur ideal, dalam menunaikan tugasnya, mendasarkan pada niat mengabdi dan keikhlasan. Sebagai bagian dari ibadah, tentunya kita bekerja secara ikhlas. Nilai tertinggi terhadap pengabdi di dunia pendidikan bukan posisi pada struktur organisasi dan juga besar- kecilnya gaji, melainkan suasana hati yang ikhlas.
Siapapun yang mampu bekerja secara ikhlas, apapun posisinya maka diyakini akan mendapatkan pahala yang lebih tinggi. Pandangan yang demikian itu, menjadikan setiap orang bukan berebut posisi, melainkan berlomba untuk menunaikan tugas sebaik-baiknya. Demikian pula, orang tidak akan berebut posisi yang dirasakan ia sendiri tidak mampu menjalankannya. Mereka lebih suka mendapatkan amanah yang dirasakan sesuai dengan kemampuannya.
Bekerja secara baik dan ikhlas itulah yang diinginkan. Ikhlas selalu berada di hati dan bukan di kepala. Apa saja yang berada di hati biasanya indah dan menyenangkan. Ikhlas itu tidak tanpak dan tidak perlu ditampak-ditampakkan, tetapi Allah akan menampakkan hasil dari keikhlasan tersebut, seperti yang pernah disampaikan oleh KH. Hasyim Muzadi.
Namun sayang, pandangan itu pada akhir-akhir ini sudah banyak ditinggalkan orang. Oleh karena itu, mengabdilah tanpa batas dan ikhlaslah seperti surat al- Ikhlas tanpa ada kalimat ikhlas didalamnya. Artinya bekerja tidak harus diketahui oleh banyak orang akan tetapi bisa dirasakan oleh banyak orang. Allahumma Ij’alna minal Mukhlisin, amin ya Rab! Wallahu a’lam