Pengurus DEMA sekaligus Ketua Persma putra yang baru, mengajak diskusi untuk program kerjanya. Ia terlihat menenteng proposal kegiatan yang akan dilaksanakan minggu yang akan datang, berupa pelatihan penulisan jurnalistik dasar. Pematerinya seorang jurnalis dari salah satu media lokal Lumajang. Ia lantas curhat, harapannya setelah pelatihan, anggotanya yang berjumlah 35 mahasiswa itu bisa mahir menulis sebab mereka selama ini mengalami kendala yang sama yaitu kesulitan untuk menyusun tulisan. Padahal, awal-awal berdiri sudah pernah mengadakan pelatihan penulisan jurnalistik.
Namun, setiap kali bertemu, keluhannya masih selalu sama, itu sangat-sangat menjengkelkan, pertanyaan bagaimana cara memulainya, bagaimana cara menyusunnya selalu rutin ditanyakan setiap kali berkumpul, disaat Persma kampus di luar sana sudah melakukan agitasi perlawanan terhadap isu-isu kerusakan lingkungan, runtuhnya demokrasi dan morat maritnya hukum di negeri ini, kita masih konsisten menanyakan bagaimana cara memulai menulis? Ini tidak boleh dibiarkan, Ferguso!
Mereka menganggap, menulis itu ada rumusnya seperti matematika, fisika maupun kimia, bila sudah menguasai rumusnya, maka bisa mengerjakan tipe soal yang sama dengan satu rumus. Padahal, menulis itu tidak demikian, otak anda harus dipenuhi dengan ide dan gagasan, harus sering membaca dan berdiskusi agar hal tersebut terwujudkan, sekalipun mendatangkan narasumber sekelas Putut Ea atau Muhidin M Dahlan. Tapi, bila tidak membiasakan membaca dan menulis, maka pelatihan-pelatihan yang digelar itu akan menjadi percuma.
Memang, Persma kampus ini tidak bisa dibandingkan dengan Persma Ideas Unej, Persma SUMA UI atau Persma Balairung milik Universitas Gajah Mada, dari sisi kampus saja, mereka termasuk deretan kampus ternama yang berdiri lebih dulu, demikian pula dengan Persmanya. Namun, paling tidak ada perkembangan, setahun lebih Persma putri STAIM berdiri dan Persma putra yang sudah mengalami pergantian ketua, seharusnya sudah selesai soal teknik penulisan. Saat ini, ruang redaksi itu seyogyanya berdiskusi soal isu yang akan dibahas dan diterbitan pada majalah berikutnya. Namun, itu tidak terjadi, Lantas, bagaimana solusi agar pertanyaan itu tidak terulang ?
Memaksa Mahasiswa untuk Membaca
Sekelumit tulisan ini mungkin sekaligus proposal kepada pimpinan kampus STAIM serta Kepala Perpus berupa program untuk memaksa mahasiswa aktif datang ke perpustakaan dan membaca buku. Programnya, wajibkan mahasiswa meminjam 24 buku ke Perpustakaan selama satu semester, asumsinya satu minggu satu buku. Masing-masing mahasiswa, diberi kartu perpustakaan dan kartu tersebut dijadikan syarat mahasiswa untuk mengikuti UAS, apabila selama satu semester belum pernah pinjam buku atau kurang dari 24 maka ada punisman.
Punismannya, meresensi 2 buku dengan minimal 5 lembar tiap satu bukunya. Bila dua buku, maka mahasiswa wajib menyetorkan 10 lembar tulisan hasil resensi buku dengan tulis tangan. Hasil resensi sebagai syarat mahasiswa untuk bisa mengikuti UAS. Selain UAS, juga jadikan syarat sebagai pengajuan judul skripsi, dengan asumsi sampai semester 7 mahasiswa harus sudah meminjam buku sebanyak 168 kali.
Apabila berharap mahasiswa sadar sambil lalu didoakan–sulit. Mungkin, kiamat kurang satu jam mereka baru akan sadar. Budaya harus dibentuk dengan cara dipaksa kemudian terbiasa, apabila sudah terbiasa, tanpa ada peraturan pun, mereka akan datang ke Perpustakaan kampus untuk membaca atau sekedar foto-foto agar terlihat seperti mahasiswa intelek berada di deretan buku-buku perpustakaan.
Apakah meminjam buku ada jaminan mahasiswa akan membacanya ? Tidak ada jaminan. Tapi, ketika mahasiswa memegang buku, peluang bagi mereka untuk membaca lebih besar daripada tidak memegang buku. Lebih baik menciptakan peluang daripada tidak sama sekali, ini ibarat memancing, apabila sedang apes, umpan tidak akan dimakan oleh ikan. Namun, bila sedang mujur, umpan akan dilahap.
Sebenarnya, program yang ditawarkan ini merupakan duplikasi program salah satu kampus ternama di Malang, bukan mewajibkan pinjam buku melainkan mewajibkan mahasiswanya mengikuti seminar Internasional. Kenapa seminar bukan membaca? Mungkin budaya membaca di kampus tersebut sudah terbentuk sehingga tidak memerlukan itu, di kampus itu, mahasiswa wajib mengikuti sekian kali seminar Internasional agar bisa mengikuti KKN dan pengajuan judul skripsi.
Kelak, bila budaya membaca itu sudah terbentuk. Maka, tinggal membentuk budaya menulis, mahasiswa diwajibkan menyetorkan 1 tulisan seminggu sekali dengan 1 tema besar dalam satu bulan, bukan tidak mungkin, kelak Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Muhammad Nur Khotibul Umam akan rutin menerbitkan buku Antologi setiap bulannya. Bila terlaksana, kampus ini nanti akan mirip seperti masa keemasan Abbasyiah, dimana saat masa Khalifah Harun Al-Rasyid, tukang sapu jalan tiap pagi menyapu kertas-kertas yang berserakan, karena masyarakatnya mencintai buku.
Bagaimana, Masokkk ??
Robith Fahmi