LUMAJANG – Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Miftahul Ulum (STISMU) Muhammad Hisan didapuk menjadi narasumber Talkshow Kebangsaan dengan tema “Menumbuhkan Jiwa dan Semangat Kebangsaan di Era Digital” yang diselenggarakan oleh Badan Pembidaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Lumajang dan Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDI) Kabupaten Lumajang.
Acara dibuka dengan bacaan Al-Qur’an yang dibacakan oleh Ustadz Fauzi kemudian menyanyikan lagu Indonesia Raya serta Ya Ahlal Wathon. Kemudian sambutan dari Bupati Lumajang Thriqul Haq, Sabtu 26 Maret 2022
Cak Thoriq, sapaan akrab Bupati Lumajang, membuka sambutannya dengan menceritakan pengalamannya saat membuka media sosial, dirinya di tag seorang netizen sebuah foto dahan pohon yang tumbang ke jalan, “Ini fenomena sekarang, ada dahan tumbang ke jalan bukan justru dibersihkan namun difoto kemudian di upload ke media sosial,” ujarnya disambut gelak tawa.
Selain itu, lanjut Cak Thoriq, dirinya juga pernah kedatangan tamu pagi-pagi sekali saat dirinya masih memakai sarung, saat itu ajudan menyampaikan kalau orang ini menyampaikan sesuatu yang penting dan ingin bertemu secara langsung, “Coba tanyakan apa yang ingin disampaikan,” kata Cak Thoriq kepada ajudannya. Namun, begitu disampaikan orang tersebut enggan menyampaikan keinginannya.
Beberapa menit kemudian, setelah ditemui, orang tersebut langsung menyampaikan, “Cak Thoriq sampean ini cak cek kalau kerja, tadi malam halaman rumah saya banjir pak, itu depan rumah saya gotnya mampet pak, itu karena ada pembangunan selokan dan materialnya yang bikin mampet,” kata Cak Thoriq menirukan apa yang disampaikan orang tersebut. Kemudian, pihaknya menanyakan apakah sudah melaporkan kepada Kepala Desa, orang itu menjawabnya belum, sudah melaporkan ke Kepala Dusun namun belum berbuat apa-apa.
Menurut Cak Thoriq, dua persoalan yang dicontohkannya adalah problem Pancasila masa kini, hal yang sederhana namun sulit bisa dicerna, logika semacam itu yang sulit untuk fikirkan kenapa bisa demikian, “Sekarang kalau ada tetangga yang bertengkar teriak-teriak, banyak berselisih paham dengan sesama tetangga, tidak dilerai dan ikut terlibat bagaimana menyelesaikan persoalannya, tidak. Namun, langsung dividio kemudian diedit ditambah kendang setelah itu di upload ke media sosial,” jelasnya.
Hal demikian, kata Cak Thoriq, problem di era digital yang seharusnya diselesaikan oleh Pancasila, di mana ketika dulu berbagai persoalan demikian dapat diselesaikan dengan gotong royong, membersihkan got, membersihkan halaman dan persoalan lainnya. Namun, saat ini, persoalan semacam itu seolah semuanya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyelesaikannya.
Selanjutnya, giliran Ketua BPIP Prof. Drs. KH. Yudlan Wahyudi M.A., Ph.D. yang bertindak sebagai Keynote Speaker menceritakan sejarah Pangeran Diponegoro yang dikhianati oleh Belanda pada tahun 1825 dan kemudian muncullah perang Jawa saat itu Diponegoro hampir menang hingga akhirnya ditangkap. Pendukungnya, terutama ulama, sayyid dan lain sebagainya terpaksa lari ke daerah Banyumas sebagian ke Pacitan, semuanya berpencar. Yang di Banyumas melahirkan generasi yang melawan ancaman dari eksternal yaitu Belanda saat Indonesia sudah merdeka.
“Ancaman setelah merdeka itu ada dua, dari internal dan eksternal, kalau eksternal itu Belanda sementara kalau dari internal ada PKI, DI dan lain sebagainya,” ceritanya. Generasi setelah Diponegoro membuat benteng untuk melawan itu semua dengan mendirikan pondok pesantren, salah satunya Pondok Thermas yang ada di Banyumas. Setelah itu, Ia menceritakan berbagai persoalan secara runut dari sisi sejarahnya hingga saat ini kemudian bagaimana peran Pancasila memberikan solusi menyelesaikannya.
Setelah Prof. Drs. KH. Yudlan Wahyudi M.A., Ph.D. selesai menyampaikan materinya, acara dilanjut dengan Talkshow, yang mana di isi oleh 3 narasumber, Anggota DPR RI Arief Wibowo, Ketua FKDT Jawa Timur Dr. Ahmad Syafi’i dan Ketua STIS Miftahul Ulum Muhammad Hisan.
Ketua FKDT Dr. Ahmad Syafi’i mengatakan, semangat kebangsaan dan nasionalisme adalah satu pandangan yang meyakini bahwa mencintai tanah air itu adalah sesuatu yang prinsip sebab tidak hanya berlandaskan kepada teologis normatif tapi secara praktis itu sangat berguna untuk mempertahan eksistensi bangsa dan negara ini. Secara teoritis normatis itu jelas dan teologis normatif itu sunnah nabi, keduanya terjadi ketika Nabi Muhammas Saw hijrah dari Makah ke Madinah.
“Seminggu setelah nabi hijrah itu kemudian para sahabat muhajirin banyak yang terkena sidatul umma atau wabah demam yang sangat tinggi kemudian atas situasi dan realitas yang ada Sayyidah Aisyah melapor kepada nabi dan setelah mendapat laporan tersebut nabi meresponnya dengan mengangkat tangannya berdoa,” ujar Ahmag Syafi’i.
Doa nabi ketika itu, Lanjut Ahmad Syafi’i, memohon agar hati nabi dan para sahabat agar diberi hidayah supaya memiliki rasa cinta kepada Madinah melebihi cintanya kepada Makah, ini penting supaya nyaman di Madinah karena setelah 1 Minggu di Madinah belum merasa nyaman seperti di rumah belum beradaptasi dengan situasi dan kondisi di Madinah. Menurutnya, menumbuhkan semangat cinta tersebut dalam konteks hari ini adalah Hubbul Wathan Minal Iman, cinta tanah air adalah sebagian dari iman.
Doa kedua, sambung Ahmad Syafi’i, agar panasnya matahari di Madinah dipindahkan ke Zufah yaitu mikat makani yang oleh orang Mesir ketika hendak melaksanakan ibadah haji lewat laut itu mikatnya di Zufah. Ini artinya nasionalisme, sama halnya bila hidup di Lumajang, menikah dengan orang Lumajang, bekerja di Lumajang maka tidak ada alasan untuk tidak mencintai Kabupaten Lumajang.
Setelah Ahmad Syafi’i menyampaikan pendapatnya, giliran Ketua STIS Miftahul Ulum Muhammad Hisan memberikan pandangannya, Ia memulai pemikirannya dari negara Turki yang menjadikan agama dan negara sebagai sebuah satu kesatuan sebelum lahirnya Kemal Ataturk yang kemudian menjadikan negara itu sekuler setelah Kemal Ataturk berkuasa. Sementara untuk Eropa timur ada Cekoslavia sekuler sekali namun paham sekuler inilah yang meruntuhkan paham kesekulerannya sendiri, di sana pernah ada undang-undang yang melegalkan pernikahan sesama jenis antara laki-laki dan laki-laki.
“Kita pikir, kalau laki-laki menikah dengan sesama laki-laki, ini mau bagaimana, nah jadi kesekuleran negara ini akan runtuh dengan perilaku masyarakatnya sendiri. Kemudian negara yang menerjemahkan firman-firman tuhan dengan kebijakan-kebijakan negara, tidak hanya di dalam islam tapi di eropa ketika zaman kegelapan di mana gereja mengambil otoritasnya negara yang terjadi adalah kedzoliman mengatas namakan agama, karena dalam konsepsi kita agama ini wilayah yang suci sedangkan negara adalah hal-hal yang profan yang bisa dicampuri dan direkayasa dengan kepentingan duniawi,” ungka Hisan.
Lantas seperti apa negara yang ideal? Menurut Hisan negara yang ideal adalah Indonesia, tidak sekuler, tidak agamis, bukan sekuler dan bukan anti tuhan namun nilai-nilai tuhan diterjemahkan dan menjadi inspirasi terhadap konsepsi negara terhadap undang-undang yang dikeluarkan negara. Negara dengan Pancasila ini adalah negara yang paling ideal dan final karena agama menjadi inspirasi terhadap semua kebijakan.
“Akan tetapi yang perlu di ingat, meski agama menjadi inspirasi terhadap kebijakan negara yang mengelola negara ini adalah manusia yang bisa melakukan rekayasa untuk kepentingannya. Namun demikian agama tetap berada di ranah suci tapi negara bisa menjadi tidak suci, namun bisa dikritik dan didemo sebab bisa berbuat salah, oleh karena itu kita harus melakukan kontrol agar berjalan sesuai dengan relnya,” terang Hisan.
Penulis: Robith
Editor: Fahmi
Penulis: Robith Fahmi