LUMAJANG – Ketua Rumah Moderasi Beragama STIS Miftahul Ulum Lumajang menjadi narasumber pembekalan Moderasi Beragama di Madrasah KKM WILKER IV Kecamatan Pasirian dan Tempursari. Kegiatan tersebut dilaksanakan di MTs Nurul Islam Bades Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang, diikuti 40 peserta dari unsur Kepala Sekolah Madrasah Tsanawiyah se-Kecamatan Pasirian Tempursari.
Ketua Rumah Moderasi Beragama (RMB) STIS Miftahul Ulum Lumajang, Sahrul Hidayatullah, MH. kepada peserta mengingatkan bahayanya tiga tantangan besar bagi keutuhan bangsa dan negara terutama bagi generasi masa depan, diantaranya Radikalisme, Terorisme dan Intoleransi.
Tandanya tiga tantangan tersebut ada, kata Sahrul, kian banyak kelompok yang menganggap paling benar dan ingin mengubah Indonesia menjadi negara islam dengan sistem khilafah, ini sudah mulai masuk di dunia pendidikan, baik sasarannya siswa maupun pengajar (Guru).
Oleh sebab itu, lanjut Sahrul, perlu adanya sebuah formulasi pembelajaran yang mengacu pada KMA Nomor 93 Tahun 2022 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Penguatan Moderasi Beragama Bagi Pegawai Negeri Sipil Kementerian Agama, perlu dirumuskan sebuah kurikulum berupa modul pembelajaran yang terintegrasi pada setiap mata pelajaran, baik mata pelajaran agama maupun umum.
Tentu semua itu berorientasi pada 4 indikator, yaitu komitmen kebangasaan, Toleransi, Menolak Radikalisme dan Akomodatif terhadap budaya lokal, “Ke depan Kementerian Agama Lumajang sudah mewacanakan untuk menyusun modul terkait penguatan moderasi beragama, hal tersebut akan melibatkan beberapa unsur, baik dari instansi pemerintah, lembaga pendidikan, beberapa tokoh dan ahli,” beber Sahrul di depan puluhan kepala sekolah.
Pemateri ke-2, Khoerus Sholeh Lc., MH., mejelaskan secara detail tentang konsep dan sejarah moderasi beragama menurut al-Quran dan Hadits. Menurutnya, meskipun Al-Quran maupun Hadits tidak secara eksplisit menyebutkan term Moderasi Beragama tetapi nilai-nilai atau prinsip yg ditanamkan oleh al-Quran maupun Hadits adalah nilai-nilai moderat.
Selain itu, lahirnya kelompok-kelompok yang menganggap mereka paling benar disebabkan pemahaman mereka terhadap teks al-Quran tidak secara komprehensif, mereka cenderung tidak menggunakan metode-metode penafsiran sebagaimana yang telah menjadi tradisi ulama Salafus Sholeh.
“Mereka dalam memahami wahyu, baik al-quran maupun hadits tidak berdasarkan pada metodologi para ulama Salafus Sholeh. Sehingga pemahaman mereka cenderung dangkal dan menganggap orang yang tidak sama dengan pandangan mereka dianggap salah bahkan sesat,” kata Khoirus.
Usai pemateri kedua memaparkan materinya, acara dilanjutkan dengan diskusi tanya jawab sekitar isu-isu hangat seputar moderasi beragama. Para peserta terlihat antusias. Bahkan, ada peserta yang baru mendengar istilah moderasi beragana.
Penulis: Sahrul
Editor: Robith
Publiser: Robith