Belajar berhitung yang melibatkan angka-angka memang terasa sulit bagi sebagian orang, apalagi tingkatan berhitungnya sudah pada level kombinasi angka penjumlahan, pembagian, perkalian hingga operasi akar kuadrat perpangkatan, itu rasanya kepala mau pecah. Tapi tahukah kita bahwa Islam itu identik dengan hitung-hitungan.
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam, ketika ditinjau dari jumlah huruf, kata, dan ayat yang ada di dalamnya memiliki keindahan perhitungan angka matematis yang begitu serasi, hal tersebut sudah diteliti oleh para ilmuwan muslim, semisal jumlah kata yang bertolak belakang seperti kata manfaat dan mudhorot masing-masing disebut 50 kali, kata Al-hayah (Kehidupan) dan Al-maut (Kematian) masing-masing disebutkan 145 kali, Kata As-solihat (Kebaikan) dan As-sayyiat (Keburukan) masing-masing disebut 167 kali, serta masih banyak lagi keseimbangan yang serupa bukti keagungan dari al-Qur’an.
Ada beberapa kalangan yang menganggap bahwa ilmu hitung seperti matematika, fisika, kimia, dan sebagainya merupakan ilmu yang sifatnya ilmu umum, yang dianggap tidak terlalu penting, dengan dalih “Toh kelak di alam kubur yang ditanya “Man robbuka” bukan satu tambah satu”.
Padahal perlu diingat bahwa diantara penyebab merosotnya peradaban umat Islam adalah adanya pemisah antara ilmu Agama dengan ilmu Umum. Jika kita kaji kembali sejarah peradaban Islam, sesungguhnya para ilmuwan muslim masa lampau disamping ahli ilmu agama, mereka juga ahli ilmu umum yang mana semua muara keilmuan tersebut berasal dari petunjuk al-Qur’an serta sabda Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Termasuk dalam penentuan awal waktu salat juga terdapat perhitungan yang ditetapkan, berdasarkan garis edar matahari terhadap bumi, hal semacam ini Nabi sudah memberikan isyarat untuk menggunakan angka perhitungan, hingga wujud formal praktisnya dari tuntunan Nabi tersebut kemudian direalisasikan oleh ilmuan muslim setelahnya.
Sebut saja Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi, ilmuwan Islam ahli Aritmatika, penemu rumus al-Jabar termasuk penemu angka nol yang kemudian melahirkan solusi dalam penyederhanaan rumus dan angka praktis di dunia sains, bahkan karya-karyanya sampai saat ini masih menjadi bahan acuan di berbagai perguruan tinggi dunia.
Ada juga seperti Ibnu Rusdy, selain ahli ushul fiqih, Ia juga ahli dalam bidang kedokteran, juga ada Imam al-Ghozali sang pemilik gelar “Hujjatul Islam” dengan karya monumentalnya “Ihya’ Ulumuddin”, selain ahli dalam bidang Ushuluddin, Ilmu Mantiq, Usul fiqih, Filsafat, Ia juga seorang matematikawan, walaupun memiliki kekhawatiran pada ilmu non syariat, seperti yang dijabarkan dalam Ihya’ bab “Kitabul ilmi”, sehingga Ia membagi ilmu menjadi dua, yaitu Fardhu Ain dan fardhu Kifayah. Ada juga Muhammad Jabir Al-Batani, seorang ahli astronom dan matematikawan, dengan pencapaiannya yang terkenal dalam ilmu Astronomi tentang penentuan Tahun Matahari dengan waktu edar 365 hari, 5 jam, 46 menit dan 24 detik, serta banyak lagi ilmuwan muslim masa lampau yang kompleks dalam bidang keilmuannya.
Berkat dedikasi para ilmuwan muslim tersebut dalam beribadah sungguh kita telah dipermudah dengan perhitungan yang telah dirumuskannya.
Untuk menentukan waktu salat, di era yang serba canggih ini kita sudah tidak lagi mendongak ke langit melihat pegerakan matahari, juga tidak lagi menunduk ke bawah melihat bayangan.
Karena Geometri waktu-waktu salat sudah dihitung dengan rumus-rumus yang pas hingga persekian detiknya.
Bahkan di masjid-masjid umumnya sudah tertempel jadwal waktu salat sepanjang masa.
Begitu juga dengan penentuan arah kiblat, penentuan awal bulan dan kapan munculnya fenomena alam seperti gerhana semuanya sudah di ketahui perhitungnya. Jadi bisa dibayangkan bahwa setelah belajar fiqih gerhana (Kusuf/khusuf) beberapa dari ilmuan kita langsung tancap gas mempelajari kapan gerhana itu terjadi hingga melahirkan hitungan rumusnya. Luar biasa bukan.
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup telah memberikan petunjuk-petunjuk kehidupan, mulai dari cara hubungan kepada Allah swt sampai cara hubungan kepada sesama makhlukNya.
Mulai aturan-aturan syariat hingga pengetahuan-pengetahuan non syariat.
Bahkan dari pentingnya ilmu hitung, beberapa hukum-hukum yang Allah swt turunkan penyelesaiannya diperlukan hitung-hitungan. Sepertihalnya perhitungan zakat dan pembagian harta waris. Dalam al-Qur’an, Allah swt menjelaskan ayat-ayat mawaris secara rinci termasuk hitungan angka pecahannya 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, 1/6. Itulah ilmu Faroid (Bagian yang telah dipastikan), dan cara menerapkannya pun perlu keahlian berhitung.
Seiring perkembangan zaman, ilmu hitung semacam ini telah banyak dilupakan.
Padahal banyak hadits Nabi yg menjelaskan keutamaan mempelajari ilmu tersebut. Sebagaimana sabdanya:
ﺗﻌﻠﻤﻮﺍ ﺍﻟﻔﺮﺍﺋﺾ ﻭ ﻋﻠﻤﻮﻫﺎ ﻓﺎﻧﻬﺎ ﻧﺼﻒ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭ ﻫﻮ ﻳﻨﺴﻲ ﻭ ﻫﻮ ﺃﻭﻝ ﺷﻲﺀ ﻳﻨﺰﻉ ﻣﻦ ﺃﻣﺘﻲ
Artinya : “pelajarilah ilmu Faroidh dan ajarkanlah, karena ilmu faroidh merupakan separuh ilmu dan ia akan dilupakan dan ia ilmu yang pertama kali dicabut dari umatku”. (HR. Ibnu Majah No. 2719).
Walaupun kebanyakan ilmu hitung status hukumnya Fardu Kifayah, bukan berarti harus diam tak mengerti, perlulah kita terus belajar dan memahami, agar supaya tidak merasa cukup dengan ilmu yang dimiliki. Bukankah mencari ilmu itu “Minal mahdi ilal lahdi”. Bukankah Allah swt mengangkat derajat “Ahlul ilmi”.
Ilmu hitung itu ilmu pasti. dengan mempelajari, setidaknya melatih diri menjadi manusia yang lebih teliti.
Wallahua’lam.
MN Khotibul Umam.