Kalimat hebat yang lahir dari filsuf Prancis ternama Descartes menjadi kalimat relevan dijadikan judul opini sederhana ini. René Descartes, dengan ungkapan “Cogito, ergo sum” (Aku berpikir, maka aku ada) mengembangkan teori Eksistensi yang menyatakan bahwa “kosong itu isi, isi itu kosong.” Sementara teori Quantum Physics berpendapat bahwa realitas dimulai dari pikiran kita yang menjadikannya nyata.
Jika seperti itu definisnya, maka berpikir bukanlah rutinitas atau spontanitas biasa, melainkan suatu keterampilan yang bisa dilatih dan dikembangkan sesuai keinginan kita. Thinking atau pemikiran terdapat dua macam, yakni positif ataukah negatif. Bahkan, Mental Illnes yang digunakan dalam istilah kesehatan, bahwa gangguan kesehatan mental juga bermula dari cara pemikiran kita.
Saat pikiran kita terlalu mencemaskan segala hal, raut wajah yang ditampakkan bagaikan baju kusut yang tidak pernah menyentuh setrika. Lalu, bagaimana dengan kondisi otak kita yang hanya bervolume sekitar 1.350 cc dengan milyaran sel saraf dan neuron itu? Maha Suci Allah yang telah mendesain anatomi tubuh manusia sedemikian rupa, sedetail mungkin dan seindah padu padannya. Robbanaa maa kholaqta hadza bathila, Ya Rabb tiadalah engkau menciptakan semua ini sia-sia.
Berkaitan dengan itu, terdapat pertanyaan yang berulang kali ditanyakan tentang bagaimana cara penulis berpikir dengan tips dan trik menghasilkan kalimat pendek atau panjang yang dianggap sebagai insight baru, motivasi, sajak dan bait indah atau bahkan kalimat receh yang jenaka. Sejatinya, menulis ialah seni mengasah kepekaan panca indra manusia yang dibubuhkan dalam ungkapan kalimat tersirat dan tersurat. Menulis juga sebagai wadah olah pikir dan olah rasa. Padi hari ini, bukanlah benih yang baru ditanam kemarin sore sama halnya dengan menulis yang dibutuhkan adalah membangun kebiasaan berpikir, mengasah ketajamanan kata dengan membaca, membiasakan menulis tentang apa, dimana, kapan, jenis tulisan apa saja. Ide pokok biasanya datang dari hal-hal yang tidak pernah dibayangkan. Kepekaan dan kebiasaanlah yang mengantarkannya. Menulis ialah sebuah proses yang kontinyu.
Pada dasarnya, segala yang kita lakukan adalah hasil dari konsep pemikiran. Menulis bukanlah keahlian dan bukan pula dihasilkan dari keturunan. Menulis adalah level tertinggi dari membaca. Petuah indah dari Imam Al-Ghazali “kalau kamu bukanlah anak raja dan bukan pula anak ulama besar, maka jadilah penulis.” Kita bisa ambil benang merahnya, bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian, menulis merupakan ladang amal jariyah yang tanpa kita tahu tulisan sederhana yang mana dan bisa menjadi wasilah keberkahan hidup yang nyata.
Menulis jangan dijadikan beban, penggiat literasi dan akademisi seringkali stress jika hanya menganggap menulis suatu pekerjaan yang berat. Jika kita juga berpikir demikian, mulai hari ini gantilah dengan anggapan bahwa menulis ialah salah satu amal jariyah yang kekal di akhirat. Oleh karena itu, jika kita dapat mengatur pikiran kita, mengapa tidak mengarahkan pikiran tersebut untuk selalu mendukung produktivitas dan sebagai investasi akhirat, sehingga hidup yang hanya sekali ini menjadi bermakna dan tidak sia-sia? Wallahu A’lam bi showab
Nabila Nailil Amalia