Istilah barokah tidaklah asing sebab sering didengar dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi kalangan santri. Terkadang, santri memaknai barokah secara ekstrem, semisal bolos sekolah untuk membantu pembangunan masjid pesantren disebutnya barokah atau meninggalkan kewajiban pesantren untuk bersih-bersih halaman pondok disebutnya barokah. Dan anehnya, mereka setelah pulang kampung, bisa melakukan apa saja di tengah masyarakat meski di pondok jarang mengaji dan sering bolos sekolah, hal tersebut oleh kebanyakan orang dianggap karena mendapatkan barokahnya pesantren, barokahnya kiai.
Meski cerita semacam itu ada. Tapi, penulis tidak bermaksud untuk melegitimasinya, apalagi kejadiannya terbilang langka dan tidak dapat terjadi kepada setiap orang. Bila demikian. Lantas, apa arti barokah? Menurut kamus Al-Munawwir, barokah dalam bahasa arab adalah kenikmatan. Istilah barokah dalam bahasa Arab juga mempunyai arti lain yaitu mubarak dan tabarruk. Mubarak berarti yang diberkati dan tabarruk berarti meminta berkat. Barokah biasanya juga sering disebut dengan kata berkah, dan kata berkah di sini menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah karunia Tuhan yang mendatangkan kenikmatan bagi kehidupan manusia, sementara arti secara istilah, barokah artinya Ziyadatul Khair yakni bertambahnya kebaikan.
Jelas bahwa barokah artinya bertambahnya kebaikan. Bila tidak ada, apanya yang akan bertambah, terkait cerita-cerita aneh di pesantren namun ada, biarkanlah hal itu dilakukan oleh mereka yang memang memiliki kekhusuan, seperti dipercaya kiai atau menjadi pengurus pondok. Kalau kalian? Teruslah belajar, teruslah mengaji, tingkatkan literasi membacanya, itu lebih real daripada menunggu barokah yang belum tentu tuhan berikan kepada kalian.
Perilaku mungkin jarang terjadi. Tapi, kalau barokah makanan, sepertinya hampir semua santri merasakan. Sebagaimana menu sederhana di kantin Pondok Pesantren Miftahul Ulum (PPMU) yang hanya menyajikan Telur Ceplok, Telur Tadar, Ikan Laut, Tahu dan Tempe. Sementara untuk kuahnya, ada sop bayam dan sayuran. Menu itu, disajikan hampir setiap hari, anehnya santri yang sudah mondok puluhan tahun tidak pernah merasakan bosen atau blenger dengan menu itu, semua menikmatinya bahkan dengan porsi kuli bangunan. Bayangkan, seandainya menu semacam itu tiap hari disajikan ibu di rumah, paling-paling belum satu Minggu sudah sering duduk manis di warung.
Selain menu sederhana, barangkali harga yang murah juga menjadi bertambahnya kadar kebarokahannya. Di luar, seporsi nasi dengan lauk telur dengan harga lima ribu rupiah sudah hampir punah, tapi di kantin PPMU harganya tidak terpengaruh dengan naiknya harga BBM. Bahkan mungkin, meski perang Rusia Vs Ukraina tidak kunjung selesai hingga berimbas infasi di Eropa, harga seporsi nasi di kantin PPMU sepertinya akan tetap sama, lima ribu rupiah, murah meriah dan yang pasti mengenyangkan.
Penulis: M. Abdul Aziz
Editor: Robith
Publiser: Robith